Apa jadinya jika setiap hari anak-anak harus meniti jembatan kayu sempit di atas laut, dan setiap malam tidur di rumah yang perlahan tenggelam?-Itulah kenyataan yang dirasakan secara langsung oleh 25 siswa dan 8 guru dari delapan sekolah mitra Yayasan SHEEP Indonesia (YSI) yang terdiri dari MA Nur Iman, MA Masyithoh, SMA Bumi Cendekia, SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, SMP BOPKRI 3 Yogyakarta, SMP IT Abu Bakar, SMP Bumi Cendekia, dan MTs Masyithoh dalam Ekspedisi Keadilan Iklim ke Dukuh Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, pada 6-7 Mei 2025 lalu. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Keadilan Iklim untuk Perlindungan Hak Anak (KIPHA) untuk membangun kesadaran iklim di kalangan anak-anak dan mendorong mereka menjadi agen perubahan dari realitas yang dihadapi warga pesisir Timbulsloko sebagai dampak dari krisis dan ketidakadilan iklim.
Dalam ekspedisi ini, para peserta melakukan observasi lapangan, wawancara dengan warga, hingga menanam 500 batang mangrove bersama kelompok peduli lingkungan setempat. Mengawali Rangkaian ekspedisi;mereka mendengarkan cerita dari Sobirin (tokoh masyarakat Timbulsloko) tentang perubahan wajah Timbulsloko. Ia (Sobirin) menceritakan kampung yang dulunya hijau dengan sawah dan kebun, kini sepenuhnya digenangi air rob; Rumah-rumah terendam separuh, jalan-jalan berubah menjadi jembatan kayu sempit, dan anak-anak tumbuh di tengah genangan yang tak kunjung surut, mata pencaharian dan cara hidup masyarakat dipaksa berubah, para petani yang kehilangan sawahnya harus belajar menjadi nelayan; Atau, jika masih cukup muda dan memiliki ijazah, mereka bisa melamar menjadi pekerja pabrik. Sebagian masyarakat yang memiliki cukup biaya memilih pindah, namun 110 keluarga masih bertahan di Timbulsloko; karena tidak punya cukup dana, atau sebab mereka tidak mau meninggalkan kampung halamannya.
Perubahan iklim adalah satu persoalan besar yang menyebabkan warga Timbulsloko tak bisa lagi memijak tanah sejak sekitar 10 tahun yang lalu. Namun,menurut Sobirin melanjutkan ceritanya, pembangunan tanggul laut di daerah Semarang memperparah kondisi ini: gelombang berbelok ke arah Timbulsloko dan memperparah kerusakan rumah warga. Kondisi tersebut menjadi sebuah pelajaran penting, bahwa yang dialami masyarakat Timbulsloko saat ini tidak hanya diakibatkan oleh peristiwa alam, tetapi juga wujud dari kebijakan yang tidak memihak pada keadilan.
Dalam sesi diskusi dan refleksi, peserta berbagi cerita mengenai apa yang dirasakan oleh anak-anak di Timbulsloko: sulitnya hidup tanpa akses air bersih yang cukup, semangat untuk tetap bersekolah meski rumah mereka terus terendam. Dari pengalaman yang didapatkan oleh para peserta ekspedisi di Timbulsloko tersebut, peserta menuangkan refleksi mereka dalam tulisan bertajuk Cerita Keadilan Iklim. Sebanyak 32 naskah dengan sudut pandang yang beragam hasil observasi para peserta telah terkumpul dengan berbagai sudut pandang seperti transportasi, kesehatan, religiusitas, hingga ketakutan kehilangan rumah yang selalu membayangi warga Timbulsloko. Cerita-cerita tersebut menjadi cara peserta untuk menyampaikan pada dunia: krisis dan ketidakadilan iklim itu nyata, menyentuh kehidupan, dan mempengaruhi hak-hak dasar anak untuk hidup, belajar, bermain, dan tumbuh di lingkungan yang aman.
Ekspedisi ini menegaskan bahwa perubahan nyata hanya mungkin terjadi jika suara-suara dari pinggiran seperti Timbulsloko diangkat ke ruang-ruang pengambilan keputusan melalui kebijakan yang berpihak, yang melihat krisis iklim bukan sebagai statistik, tapi sebagai persoalan kehidupan dan hak asasi manusia. Agar setiap anak, termasuk mereka yang tinggal di pesisir yang tenggelam, punya hak yang sama untuk bermimpi tentang masa depan yang pantas mereka miliki.