Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Yayasan SHEEP Indonesia (YSI) wilayah Kupang, generasi muda saat ini adalah kelompok yang paling sedikit mengenal dan mau mengkonsumsi pangan lokal. Padahal, di tengah rendahnya pengetahuan mereka tentang kekayaan pangan di sekitarnya, anak muda justru memiliki akses yang luas terhadap pengetahuan dan referensi melalui internet. Hal ini menjadikan mereka memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan—terutama dalam mengangkat kembali nilai dan eksistensi pangan lokal lewat kreativitas mereka di media sosial seperti TikTok, Instagram, dan Youtube.
Berangkat dari keprihatinan itu, YSI bersama dua Organisasi Masyarakat Basis (OMB)—Tunas Muda Raknamo dan Tafena Kuan Kairane—menginisiasi kampanye bertema “Pangan Kita, Masa Depan Kita”. Kegiatan ini diselenggarakan di SMP Negeri 4 Amabi Oefeto menjadi fokus karena beberapa anak anggota kelompok juga bersekolah di sana sehingga kesadaran akan pentingnya pangan lokal juga didapat oleh anak-anak mereka dan tidak terbatas pada anggota saja. Sebanyak 49 pelajar—terdiri dari 25 laki-laki dan 24 perempuan—ikut terlibat aktif dalam kampanye ini. Melalui sesi interaktif, diskusi kelompok, dan refleksi bersama, mereka diajak untuk berpikir kritis tentang sistem pangan yang mereka jalani, serta mengenal dan mengeksplorasi kembali beragam jenis pangan lokal yang selama ini terpinggirkan.
Salah satu momen menarik dalam kampanye ini muncul dari komentar spontan Luis, seorang peserta. Ia menyatakan, “Sekarang apa-apa cepat viral. Mari dong buat video TikTok, terus nanti upload di medsos. Biar viral, banyak orang suka lagi sama pangan lokal.” Bagi Luis dan teman-temannya yang sudah terbiasa dengan dunia digital, ide ini bukan sekadar wacana. Ia melihat bahwa tren viral di TikTok bisa dijadikan pintu masuk untuk mengangkat citra pangan lokal dengan mengikuti gaya komunikasi yang digemari sesamanya. Komentar ini menunjukkan bahwa anak muda sebenarnya memiliki kreativitas dan keberanian untuk menyuarakan ide mereka secara mandiri jika diberikan ruang dan dukungan.
Menindaklanjuti semangat tersebut, para siswa bersama YSI dan kedua OMB menyepakati sejumlah rencana aksi. Beberapa di antaranya adalah membentuk kebun pangan lokal di lingkungan sekolah, menanam tanaman pangan lokal di pekarangan rumah, menyampaikan pesan kampanye kepada keluarga, hingga memproduksi konten kreatif berupa video “daily life” yang merekam proses menanam, memilih bibit, memanen, dan mengkonsumsi pangan lokal. Proses ini bukan hanya menjadi alat edukasi, tetapi juga media kampanye yang dapat menjangkau audiens yang lebih luas di media sosial.
Selain itu, kampanye ini tidak berhenti di satu sekolah saja. YSI dan para mitra berencana mengajak sekolah-sekolah lain untuk ikut bergabung dalam gerakan ini. Harapannya, kampanye dapat menumbuhkan influencer sekolah—anak-anak muda yang tidak hanya menjadi objek program, tetapi menjadi subjek yang aktif menyuarakan dan menyebarluaskan pentingnya pangan lokal di lingkungannya masing-masing. “Jika kita ingin masa depan yang berdaulat secara pangan, maka anak-anak dan remaja harus dilibatkan sejak sekarang sebagai pelaku perubahan,” tegas Rossi menutup kegiatan.