(Lingkungan) - Tsunami yang terjadi di wilayah Pandeglang Banten di penghujung tahun 2018 lalu, menimbulkan dampak cukup parah. Peristiwa tersebut mengakibatkan perubahan lokasi hunian yang terletak cukup dekat dengan bibir pantai dan kondisi perekonomian masyarakat. Masyarakat yang mayoritas memiliki penghasilan sebagai nelayan dan petani mengalami penurunan hasil dan kualitas. Kondisi tersebut tersebut mendorong berbagai pihak untuk memberi perhatian khusus dalam upaya pemulihan mata pencaharian masyarakat, salah satunya adalah kebutuhan air bagi petani dan konsumsi sehari-hari.
Menyadari hal tersebut, bekerja sama dengan WALHI Jakarta dilakukanlah asesmen dengan fokus wilayah di Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten. Asesmen ini kemudian difokuskan lagi untuk lebih menilai sejauhmana dampak kerusakan dan ketersediaan air bersih yang masih dimiliki. Asesmen dilakukan dengan metode survey lapang dan wawancara dengan warga sekitar di tiga desa yaitu Ujung Jaya, Taman Jaya dan Cigorondong.
Di Desa Ujung Jaya ditemukan banyak kerusakan lahan pekarangan dan pertanian. Tsunami menyebabkan kegagalan panen padi karena air laut menggenangi lahan. Kondisi sumber air yang berada di dekat bibir pantai menjadi lebih payau karena intrusi air laut sehingga tidak dapat digunakan lagi. Dengan kondisi tersebut, masyarakat desa Ujung Jaya kemudian menggunakan sumber air utama 2 sumur air tawar yang berada di wilayah tersebut untuk kebutuhan konsumsi. Untuk itu, saat ini sumur tersebut telah dibuat penampungan dan telah dialirkan untuk warga sekitar dengan sistem perpipaan. Sedangkan untuk kebutuhan MCK menggunakan air sumur milik pribadi yang kebanyakan berupa sumber air payau. Selain itu, ditemukan data bahwa sebagian besar warga di Desa Ujung Jaya masih belum memiliki sistem MCK yang memadai. Sebagian masyarakat memanfaatkan pantai dan muara sekitar bakau untuk pembuangan ekskreta manusia.
Tidak berbeda jauh dengan desa sebelumnya, di Desa Taman Jaya sebagian masyarakat juga tidak memiliki sistem MCK yang memadai. Sumur warga bersifat payau sehingga pemenuhan kebutuhan air bersih didapatkan dari mata air yang berada di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Permasalahan yang sering ditemukan adalah keruhnya air ketika musim hujan, hulu saluran tidak terlindung dan saluran pipa tersumbat karena daun-daun yang masuk melalui saluran utama di mata air. Beberapa warga yang berada dekat dengan sungai menggunakan aliran sungai untuk sumber air bersih (masak, mandi dan mencuci) padahal kondisi aliran air sungai dipenuhi sampah dari warga sekitar sendiri. Ini menjadi tantangan tersendiri karena edukasi tentang lingkungan dan sanitasi yang sehat belum dipahami masyarakat.
Di desa ketiga yakni Desa Cigorondong, sumber air menjadi pengamatan dan letaknya di wilayah Taman Nasional. Permasalahan yang ditemukan untuk mata air hampir sama dengan di Desa Taman Jaya yakni aliran air yang keruh ketika musim hujan datang. Di wilayah pesisir desa Cigorondong ditemukan segelintir pohon bakau, yang kemudian banyak dijadikan tempat pembuangan ekskreta manusia bagi penduduk yang tidak memiliki MCK di rumahnya. Wilayah ini juga terkena dampak karena penuturan warga sekitar, pantai di wilayah Cigorondong juga mengalami penyempitan (abrasi pantai).
Potret wilayah pesisir di 3 desa ini paling tidak memberi gambaran tentang kondisi masyarakat, lingkungan dan ekonomi sebelum dan paska tsunami terjadi. Dari hasil asesmen juga terlihat tidak adanya zona penyangga sehingga energi dari laut langsung mengenai wilayah pemukiman, penyediaan air bersih, dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah. Masyarakat tidak memiliki tempat pembuangan sampah sehingga hanya membuang di pekarangan, kebun, aliran sungai dan ke laut. Tindak lanjut kedepan yang perlu didiskusikan bersama adalah penyadaran kepada masyarakat bagaimana juga mengelola lingkungan yang berkelanjutan, salah satunya dengan upaya pengelolaan sampah dan edukasi tentang sanitasi yang nyaman serta sehat. Persoalan ini menjadi tanggung jawab semua pihak yang perlu menjadi perhatian bersama.