Bertempat di Desa Lombonga, Kec. Balaesang, Kab. Donggala pada hari Minggu (04/12/22) telah dilakukan acara Festival Ntodea sekaligus seremoni peresmian bangunan Pusat Evakuasi Masyarakat (PEM). Peresmian PEM secara simbolis dilakukan oleh Bapak Kasman Lassa selaku Bupati Donggala serta dihadiri oleh Bapak Andreas Subiyono dan Prijatmo sebagai perwakilan dari YSI, OPD Kabupaten Donggala, Camat Balaesang, Perwakilan BPBD Provinsi Sulawesi Tengah, Kepala desa Lombonga, Polsek, dan Koramil serta komunitas dan warga masyarakat desa Lombonga.
Peresmian PEM menjadi momentum kegiatan dan penyerahan bahwa bangunan ini selanjutnya akan dikelola oleh masyarakat; selain itu, kesepakatan dan komitmen untuk menumbuhkan rasa memiliki PEM menjadi poin penting bagi semua pihak. Dalam sambutan yang diberikan Bapak Andreas Subiyono selaku perwakilan YSI menekankan bahwa Bangunan PEM harus betul-betul mampu menjadi bangunan yang dapat meningkatkan kapasitas masyarakat desa terkait dengan mitigasi bencana sehingga mampu membuat masyarakat desa menjadi semakin tangguh, beliau juga menekankan perlu adanya sinergi yang baik antar aspek pemangku kepentingan dalam pengelolaanya. Pada kesempatan yang sama Bapak Kasman Lassa selaku Bupati Donggala menekankan berdirinya bagunan PEM harus mampu dimanfaatkan semaksimal mungkin tidak hanya masyrakat desa lombonga manun juga seluruh masyarakat di kabupaten Sulawesi Tengah, beliau juga mengingatkan bahaya tsunami, gempa bumi dan lukuifaksi yang sewaktu-waktu bisa saja datang harus selalu menjadi pengingat dan alasan kuat masyarakat untuk selalu melakukan upaya-upaya mitigasi bencana seperti melakukan simulasi terkait kebencanaan sampai dengan menanam pohon di seputaran pantai.
Peresmian diakhiri oleh simbolisasi serah terima dari SHEEP Indonesia kepada desa Lombonga dan penekanan sirine serta pemotongan pita yang dilakukan oleh Bapak Kasman,Bapak Andreas, serta perwakilan tokoh Desa Lombonga. Bangunan PEM di desa Lombonga mengadaptasi model Souraja yang merupakan salah satu bangunan tradisional khas Sulawesi Tengah yang pada jaman dahulu digunakan sebagai tempat tinggal raja. Penggunaan Souraja sebagai model bangunan PEM terinspirasi pada saat terjadi gempa pada tahun 2018 yang lalu dimana keberadaanya mampu menjadi tempat berlindung dan evakuasi bagi masyarakat terdampak dengan struktur yang kuat dan salah satu bangunan yang tahan akan guncangan gempa pada saat itu. Bangunan yang terdiri dari serambi dan ruang terbuka tersebut dibangun diatas tanah seluas 529 m² dan mampu menampung sampai dengan 333 orang di masa darurat dan 281 orang di masa normal; lebih luas lagi, Ketika tidak terjadi bencana bangunan PEM juga mampu dipergunakan untuk kegiatan sosial, pusat literasi bencana dan literasi isu kritis sebagai bagian dari peningkatan kapasitas warga masyarakat.