Novita Christanti - Gadis cilik itu bernama Septi, usianya masih 3 tahun, anak kelima dari lima bersaudara Pertama kali bertemu di desa Ramba, kabupaten Sigi. Pada saat Septi bersama ibunya datang ke tempat pelayanan kami team YSI, muka Septi tampak ketakutan. Dia menangis di dekapan ibunya. Di wajah dan leher Septi ada benjolan besar/bisul berisi nanah/abses. Dari cerita ibu Septi benjolan itu muncul sewaktu mereka mulai tinggal di pengungsian dan hanya makan mie instan hasil bantuan. Dan selama perjalanan respon medis ini banyak sekali anak kecil yang mengalami ini.entah di muka, badan atau kaki. Mungkin ini bisa jadi pelajaran untuk mempertimbangkan pemberian mie instan pafa korban bencana. Kalau dicari manfaat bikin kenyang dan mudah penyajian mie instan memang pilihan tepat. Tapi melihat banyaknya efek negatif seperti diare, penyakit kulit, dll ini bisa lebih dia pertimbangan.
Kembali ke Septi, akhirnya setelah melakukan anamnesis, dokter Yoga memutuskan untuk mengambil tindakan pada bisul di leher Septi. Dan ibunya setuju. Septi pun menangis kencang semakin erat memeluk ibunya. Akhirnya kuputuskan untuk memangku Septi dan menyuruh ibunya menjauh dulu. Semua sudah siap dengan posisi masing- masing Aku memangku Septi, bang Amon memegang tangan Apri memegang kaki, dan Herlando siap eksekusi. Karena ketakutan, Septi meronta-ronta dan menangis. Ternyata hal ini bikin bisulnya pecah sendiri. Tanpa harus dibedah hanya dengan memencet bagian bisul itu, keluarlah nanah disusul darah. Tapi ternyata ada bagian bawah masih terlihat nanah yang tidak mau keluar, alhasil Herlando harus membuat sayatan kecil. Saat kami beraksi warga malah banyak yang berbondong-bondong datang untuk menonton. Dengan suara lantang terpaksa aku harus mengusirnya. Karena udara sekeliling terasa pengap, ditambah rasa iba melihat Septi menangis mencari ibunya. Tindakan pun selesai dilakukan. Dokter Yoga selain meresepkan obat dia menyarankan agar bisul Septi yang di bawah mata dioperasi di rumah sakit. Karena selama masih tanggap bencana, sampai tanggal 25 Desember 2018 semua perawatan di rumah sakit biayanya ditanggung pemerintah. Ibu Septi pun menyetujui. Septi pulang dengan ibunya masih dengan isak tangisnya.
Seminggu kemudian kami kembali ke desa Ramba untuk melakukan promosi kesehatan dan pelayanan medis. Kami dibagi dalam 2 team, team promosi kesehatan dan team pelayan medis. Aku, dokter Yoga, Hendra dan Herlando berada di team pelayanan medis. Kami kembali mengunjungi pasien yang kemarin butuh pantauan, salah satunya Septi. Ibu Septi bercerita, Septi sempat dibawa ke rumah sakit tapi syarat untuk bisa mendapat perawatan di rumah sakit sangat banyak. Dari surat keterangan tidak mampu, rujukan dari puskesmas, surat keterangan dan dinas sosial hingga jaminan dari dinas kesehatan. Merasa tidak mampu memenuhi syarat tersebut karena keterbatasan biaya serta jarak tempuh yang jauh, Septi pun dibawa pulang tanpa dilakukan tindakan apapun. Sedih rasanya mendengarnya, disaat kami ingin membantu mereka, pihak lain malah mempersulit dengan birokrasi yang seharusnya bisa dipermudah karena masih suasana tanggap bencana, Mungkin ada baiknya saat ke rumah sakit ada pendampingan dari YSI.
Dalam dekapan ibunya, Septi memandang kami dengan ketakutan, kali ini dia tidak menangis, mungkin dalam hati dia berkata "wah tukang jagal datang lagi". Kami melihat bekas luka yang di leher bagus, kata ibunya, Septi sendirilah yang selalu rajin mengoles lukanya dengan salep gentamicin dan minum obatnya. Saat diperiksa bisul di matanya, Septi sempat menolak dan berkata jangan dipencet....sakit. Tapi kali ini reaksinya berbeda tidak seperti di awal terlalu melawan. Kali ini dia terlihat sedikit pasrah. Melihat bisul di mata Septi yang makin membesar, akhirnya dengan berbagai timbangan kami pun akan melakukan tindakan, dan karena bisulnya dekat daerah mata tidak dilakukan suntik anastesi. Seperti minggu lalu Septi berada dalam pangkuanku, saat semua alat dipersiapkan, sesekali Septi menangis minta minum, minta balon, minta makanan.
Antara geli dan iba melihatnya. Gadis kecil ini mencoba menghilangkan ketakutannya dengan caranya sendiri. Akhirnya peralatan siap, Herlando akan melakukan insisi/luka sayatan kecil pada bisul Septi untuk mengeluarkan abses. Dan dengan 2x sayatan absesnya keluar bercampur darah. Anehnya kali ini Septi tidak menangis hanya berteriak minta minum dan balon lagi tindakan pun selesai dilakukan tanpa drama tangisan seperti minggu lalu. Selesai ditutup lukanya, Septi digendong ibunya lagi.
Setelah mendapat jamuan kelapa muda dari warga Ramba, kami pun berpamitan pulang. Tiba-tiba ada anak kecil menarik bajuku. Aku menatapnya dan tersenyum, ternyata Septi minta balonnya dikasih nama. Tampak jelas di wajahnya tidak ada dendam, bahkan tanpa sungkan sungkan dia memelukku. Semoga kita bisa jadi contoh ya Septi, untuk menolong tidak perlu membedakan suku, ras dan agama. Untuk yang sudah menyakiti tidak perlu kita balas, pasti dunia ini akan damai. Terima kasih Septi, kau telah membuat cerita yang penuh bermakna.