dr. Gloria Karina (Tim 9 Medis ER Sulteng Bergerak) - Tim kami datang ke Desa Ramba disambut dengan angin yang cukup kencang yang membawa debu beterbangan hingga cukup untuk membuat beberapa dari kami menutup mata dan bahkan sudah ada yang kelilipan. Siang itu kami memulai pelayanan kami di Desa Ramba, desa yang awalnya saya kira ada di pesisir pantai karena di desa ini banyak sekali pohon kelapa tumbuh. Banyak warga desa Ramba yang antusias ingin memeriksakan kesehatannya, sehingga banyak yang harus mengantre. Seperti biasa saya melakukan tugas saya sebagai dokter saat mobil klinik. Saat saya sedang anamnesa pasien di depan saya, perhatian saya teralihkan oleh sesosok bapak yang sudah tua, tidak memakai baju atasan, hanya memakai sarung, dan berjalan dengan membungkuk, terseok-seok menuju ke pos kesehatan kami. Pikiran yang terlintas pada waktu itu adalah apakah begitu panasnya di tenda pengungsian atau di lingkungan ini kok sampai Bapak itu tidak memakai baju? Saat itu saya masih tetap melanjutkan memeriksa pasien saya. Sampai akhirnya saya mendengar suara mas Amri yang cukup keras yang ada disamping saya dan cukup membuat saya penasaran ada apakah gerangan, "Itu ga papa kah bawa bawa itu pak?" Mas Amri bertanya sambil menunjuk ke arah benda yang menyerupai senjata tajam parang yang dibawa bapak itu dan dikaitkan dipinggangnya. Bapak itu tidak menjawab, dan malah bertanya, "Mau minta rokok" (sambil memperagakan posisi merokok). Saya yang merasa penasaran akhirnya menjawab, "Ga punya rokok pak, kita tidak punya rokok. Bapak kesini mau periksa? Bapak sakit apa?" Saya bertanya sambil melihat ekspresi si bapak sambil sesekali melirik was-was ke senjata tajam yang dibawanya. Bapak itu tidak menjawab pertanyaan saya. Matanya tidak fokus dan melihat ke sekitar, sambil berbicara dengan bahasa setempat yang saya tidak paham dan bapak itu pergi meninggalkan pos kesehatan dengan jalan membungkuk dan terseok-seok. Sampai akhirnya ada tetangga yang menerjemahkan perkataan bapak itu, "Saya diutus raja langit, saya pasukan tentara yang luar biasa hebat yang datang dari langit untuk membunuh mahluk-mahluk yang berjiwa hitam". Saat itu juga saya paham bahwa bapak ini memiliki kelainan jiwa. Seandainya saja jika saya memiliki waktu lebih banyak, dan warga yang sedang mengantre tidak banyak, saya ingin mengejar dan mengobrol lebih lanjut dengan bapak tadi. Singkat cerita saat pelayanan kesehatan sudah selesai, karena rasa penasaran saya, saya bertanya-tanya tentang asal usul Bapak tadi kepada warga yang ada disitu, dan ternyata Bapak itu sudah jadi cerita lama di desa mereka karena semua warga tahu cerita tentang bapak itu bahkan anak-anak juga tahu. Namanya Bapak Suryadi biasa dipanggil Yadi oleh warga sekitar, berumur sekitar 80 tahun. Bapak Yadi memiliki keluarga yang tinggal di desa ini, yaitu adik perempuannya dan keponakannya yang satu rumah. Bapak Yadi belum berkeluarga, dan sudah menderita gangguan jiwa kurang lebih sejak usia 10 tahun. Warga tidak tahu penyebab Bapak Yadi bisa mengalami gangguan jiwa. Awal awal sakit saat masih anak-anak, keluarga pernah memasungnya, sampai saat sudah dewasa Bapak Yadi sudah tidak pernah dipasung dan hanya berkeliaran di kampung mereka. Bapak Yadi makan dari makanan yang diberi warga dan tidur di teras-teras rumah, lapangan, pinggir sungai, kebun, bahkan kandang sapi. Sungai sudah menjadi tempat hidupnya karena disitulah Bapak Yadi mandi, BAB, dan BAK. Bapak Yadi jarang pulang ke rumahnya. Keluarga seperti sudah angkat tangan dengan Bapak Yadi dan tidak mau mengurusnya lagi sehingga sampai sekarang Bapak Yadi berusaha hidup sendiri dan berdasar belas kasihan warga. Banyak hal menarik setelah saya mendengar cerita warga. Karena Bapak Yadi tidak mengganggu warga, tidak membuat keributan, bahkan tidak melukai warga, maka warga merasa kasihan dan membantunya dengan memberi makan. Warga merasa sudah sangat membantu Bapak Yadi dengan melakukan hal itu. Saat itu saya bertanya kepada warga, Apakah warga desa Ramba, Kepala Dusun, Kepala Desa, Bidan Desa bahkan Puskesmas selama 70 tahun tidak pernah sekalipun mengusahakan pengobatan Bapak Yadi ke RS Jiwa? memang keluarga sudah tidak mampu mengurus atau bahkan tidak ada inisiatif untuk berobat, tapi apakah bapak ibu sekalian tidak ada yang mengusahakan atau bahkan melapor ke kecamatan atau bahkan pemkab supaya Bapak Yadi bisa mendapat pengobatan? 70 tahun loh ini bapak-bapak, ibu-ibu." Seketika saya menyesal menanyakan pertanyaan seperti itu karena mungkin saya terdengar emosional dan frontal karena setelah saya bertanya seperti itu mereka terdiam tidak ada yang menjawab bahkan Bapak Kepala Dusun. Miris melihat orang dengan gangguan jiwa tidak ada yang berusaha membantu mendapatkan pengobatan. Ketika kita sakit, kita tahu apa yang kita butuhkan, kita akan pergi berobat. Tapi orang dengan gangguan jiwa mayor tidak tahu apa yang mereka butuhkan. Mereka tidak akan berkata mereka sakit, mereka ingin ini ingin itu, hanya kepekaan dan kepedulian orang di sekitarnya untuk memahami kebutuhan mereka yang bisa menolong mereka. Disaat orang lain bisa meminta pertolongan medis, logistik, setelah bencana datang, mereka hanya diam dan tetap merasa dunianya tidak ada yang berubah. Setelah bencana terjadi, Bapak Yadi tetap tidur di lapangan maupun dekat sungai, bahkan di reruntuhan bangunan rumah warga. Saat kejadian tidak ada yang memikirkan nasib Bapak Yadi bahkan keluarganya juga tidak peduli, sampai H+2 Bapak Yadi lewat di jalan depan reruntuhan bangunan rumah warga dengan luka di dahi dengan bekas darah yang sudah mengering, tapi Bapak Yadi hanya lewat saja tanpa meminta pertolongan ke warga. Bersyukur Bapak Yadi bisa tetap survive ditengah bencana yang melanda. Setelah saya mengobrol sebentar dengan Bapak Kepala Dusun, Puji Tuhan mereka akan mengupayakan pengobatan Bapak Yadi ke RSJ setelah masa transisi bencana selesai. Terimakasih Yayasan SHEEP Indonesia, saya sudah diberi kesempatan untuk belajar lagi melalui cerita Bapak Yadi, bagaimana kita harus peka terhadap kebutuhan orang lain terutama ODG dan mempedulikannya dengan cara yang tepat. Saya tidak sabar menanti pembelajaran selanjutnya yang bisa saya dapatkan lagi bersama YSI. Thanks to YSI dan teman-teman relawan ER Sulteng Bergerak!