dr. Yoga - Perjalanan saya ke Palu dimulai dari keberangkatan di Adisucipto. Bertemu sejawat-sejawat dari berbagai profesi background, asal dan prinsip menjadi satu, dalam satu tujuan, untuk berkarya dan memberikan yang terbaik untuk saudara-saudara kami di Palu.
Sehari-hari kami bekerja, secara serius di depan pasien, sambil sesekali bercanda bersama pasien maupun tim untuk merelaksasi suasana Mengarungi sudut-sudut kota Palu yang eksotis pasca bencana dengan berbagai versi cerita gempa sesuai kepercayaan dan sudut pandang orang setempat.
Selama saya bertugas selama 24 hari di Palu, saya merasa mendapatkan banyak hal berupa pengalaman, tukar pikiran dan juga kasus-kasus menarik yang bisa dibicarakan. Mulai perihal penyakit yang paling umum pasca bencana, perihal masalah rujukan, sampai informasi yang tersebar selama pasca bencana ini. Dalam tulisan ini mungkin saya ingin menyampaikan cerita perihal distorsi Informasi di Masyarakat dan Kalangan medis
Mengambil beberapa kasus yang perlu dirujuk saat pelayanan kesehatan ada pasien dengan gangguan penglihatan pasca trauma kepala, serta suspek patah atau retak di telapak kaki karena pasien mobilitasnya masih baik, kami sarankan pergi ke RS bersama perawat setempat untuk pemeriksaan lebih lanjut. Beberapa hari berlalu, saat kami kembali ke desa tersebut, tanyalah kami ke pasien yang bersangkutan lagi, ternyata pasien belum ke RS. Kami kaget dan bertanya kepadanya. Jadi pasien tersebut memang sudah mau ke RS, namun sebelum kesana, ternyata ada temannya yang baru kembali dari RS, dan mengatakan bahwa Rabu (besok) terakhir (November) pelayanan gratisnya bukan sampai tanggal 25 Desember seperti yang kami sampaikan sebelumnya. Sehingga mereka mengurungkan niat untuk berangkat memeriksakan diri ke RS.
Ada pula anak yang tidak jadi dilakukan tindakan di RS karena persyaratan untuk JKD yang banyak sekali harus diurus Padahal dokumen-dokumen miliknya tidak ada entah hilang atau tidak pernah mengurus.
Syarat lainnya perlu mengurus surat di berbagai kantor dinas. Karena tidak mampu, serta tidak punya uang akhirnya mereka mengurungkan niat Akhirnya pasien yang rumahnya sudah rubuh ini, kami lakukan tindakan di tempat pengungsian di hari dimana kami kembali ke desa tersebut (pada saat penyuluhan kesehatan).
Adapula pengalaman dimana saat kami merujuk pasien ke RS setempat, ada perbedaan keterangan dari pihak informasi, ada yang bilang harus menggunakan kartu identitas, KIS, KK dan lain lain ada yang bilang bisa langsung di bawa ke RS tanpa dokumen apapun untuk memudahkan, karena masih program pemerintah dan presiden untuk melayani pasien yang terkena dampak gempa Palu 28 Oktober 2018.
Kami heran?
Kenapa tidak satu suara?
Kenapa berbeda beda informasinya?
Sampai tidak sebenarnya informasi bahwa presiden dan pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melayani korban gempa secara gratis benar-benar sampai ke masyarakatnya?
Dari cerita singkat diatas, beberapa hal yang menurut saya masih bisa dikembangkan adalah:
- Masalah informasi di daerah Palu, mungkin dapat dipecahkan dengan lebih melibatkan kepala desa dan dusun setempat yang dipercaya dan diikuti masyarakat sekitar untuk mensosialisasikan kebijakan.
- Tidak semua orang di daerah Palu tentunya memiliki gadget yang senantiasa terhubung internet dan aktif Masing-masing tentunya memiliki kearifan lokal sendiri-sendiri. Ada yang menggunakan TOA mesjid, ada yang menggunakan TOA pengungsian, ada yang dari pintu ke pintu dan lain-lain. Menemukan tokoh tokoh setempat sangat membantu dalam mengatasi masalah informasi, hal ini menurut hemat saya visa menjadi solusi untuk pemerintah dalam mengatasi distorsi informasi yang terjadi. Tingkatkan dan libatkan tokoh masyarakat dalam pengelolaan kesehatan dalam kebencanaan atau keseharian.
- Selain itu, perlu ditingkatkan juga kekompakkan informasi di kalangan jajaran kesehatan di Palu sendiri, supaya tidak ada perbedaan versi informasi yang disampaikan ke pasien atau tim relawan.