
Pada tanggal 23 dan 24 Juli 2025, Yayasan SHEEP Indonesia (YSI) menyelenggarakan kegiatan Pelatihan dan Diseminasi Aturan Perlindungan dan Keamanan kerja; kegiatan ini merupakan bagian dari program Lembaga yang diintegrasikan dengan proyek “Membangun Resiliensi Masyarakat yang Berkelanjutan untuk Mengurangi Dampak Risiko Bencana dan Perubahan Iklim Berbasis Landscape” di Lombok dan Palu.
Dalam menjalankan program, akuntabilitas dan transparansi sangat penting menjadi concern YSI. Untuk itu siapapun yang bekerja dan terlibat dalam kerja YSI harus memahami aturan perlindungan dan keamanan kerja, sehingga baik staf, relawan, mitra kerja, partisipan semua memiliki rasa aman, nyaman dan terlindungi. Upaya pencegahan melalui aturan etik ini penting diketahui oleh semua pihak serta tahu harus bertindak seperti apa jika ada kasus atau indikasi pelanggaran etik semua pihak dapat melakukan dan memberi umpan balik. Selain itu, kegiatan ini juga menjadi ruang untuk menciptakan kesamaan persepsi dan diseminasi aturan etik tersebut sebagai bagian transparansi dan mendukung partisipasi atas kerja YSI dan spiritnya.
Hari pertama kegiatan dilaksanakan di PEM (Pusat Evakuasi Masyarakat) Desa Santong Mulia, Lombok Utara, dan dihadiri oleh sekitar 40 peserta sebagai perwakilan dari 14 desa mitra dampingan. Kegiatan disambut baik oleh masyarakat; diseminasi tidak hanya memaparkan isi aturan tapi juga mengajak diskusi dan mengamati proses relasi yang terjalin selama ini dalam menjalankan program. peserta diajak mengamati contoh-contoh kasus pelanggaran aturan dan menganalisa, kemudian merespon jika terjadi indikasi atau kasus di sekitar mereka. Peserta menyampaikan bahwa desiminasi ini penting dan baru YSI yang melakukan diseminasi tentang aturan perlindungan dan keamanan kerja, serta memperhatikan keamanan partisipan yang terlayani.

Proses yang menarik adalah ketika sesi menganalisa gambar sebagai contoh kasus pelanggaran, dinamika diskusi sangat interaktif. ketika 1 kelompok mempresentasikan hasil diskusi, kelompok lain menambahkan, bahkan ada yang menyanggah menjadi sesuatu yang semakin menguatkan pemahaman. Beberapa peserta memiliki referensi dan pengetahuan cukup baik tentang kekerasan gender, perlindungan anak, keamanan perempuan namun ada yang masih ‘tabu’ mendiskusikan dan ‘tidak merasa ini penting’ didiskusikan bersama; dinamika ini yang menjadi menarik. Diskusi dan presentasi kelompok menjadi upaya semua pihak perlu memiliki pengetahuan dan sadar, jika ada pelanggaran atau indikasi kasus harus merespon seperti apa.
Upaya mengurangi resiko terjadi kasus dengan diseminasi juga dilakukan keesokan harinya. Peserta kali ini melibatkan 16 peserta dari 10 organisasi masyarakat sipil (CSO) lokal. Sedikit berbeda saat dengan masyarakat, diseminasi ini juga menjadi media berbagi pengalaman langsung mitra dalam mengelola risiko pelanggaran etik di lapangan. Peserta yang hadir lebih memahami isi aturan etik yang terdiri : benturan kepentingan, penyalahgunaan jabatan, keamanan (kekerasan dan eksploitasi gender, seksual serta anak), penipuan dan korupsi, Peserta dapat memberikan contoh berdasar pengalaman konkrit dan berkomitmen bahwa ini juga dijalankan di internal organisasi masing-masing sebagai bagian dari akuntabilitas kerjanya.
Sesi ini menekankan pentingnya pemahaman terhadap konteks budaya lokal, serta bagaimana norma adat dapat beririsan—atau bahkan berbenturan—dengan kebijakan dan standar donor. Diskusi juga menyoroti pentingnya membangun ruang aman secara fisik dan psikologis di tingkat komunitas, serta perlunya pendekatan edukatif dalam upaya pencegahan kekerasan. “Perlu ada pemahaman bersama terhadap kebiasaan dan budaya lokal agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dengan masyarakat. Misalnya, dalam proses assessment, masyarakat tetap memberikan jamuan kepada tamu meskipun sedang mengalami situasi bencana. Jika jamuan itu ditolak, mereka bisa merasa ditolak secara personal” ujar salah satu peserta.

Rangkaian kegiatan ini menjadi trigger untuk memunculkan kesadaran kolektif akan pentingnya penerapan prinsip perlindungan dan keamanan yang nyata dan terintegrasi dalam setiap intervensi program. Dengan demikian, program berbasis lanskap tidak hanya berorientasi pada pencapaian fisik dan teknis semata, tetapi juga mengedepankan pendekatan yang manusiawi dan berkelanjutan.

