dr. Jamaluddin A.M.M - Akhir Agustus merupakan hari yang buruk bagi sebagian orang, hari kacau, penuh kepanikan, penuh tangis dan penuh mayat, yaaa Indonesia menangis kembali, gempa dengan kekuatan 7 SR mengguncang Sulawesi Tengah. Palu, Sigi dan Donggala berduka, ibu pertiwi ini sedih, ibu pertiwi ini menangis, masih ada sisa luka duka dari gempa di Lombok, kini hati ibu pertiwi di Palu, Sigi, Donggalapun terkoyak.
Indonesia berduka kembali. Pada akhir Oktober secara mendadak tanpa persiapan saya memberanikan diri untuk terjun ke Palu sebagai tim relawan medis. Ini merupakan pengalaman pertama saya terjun langsung ke lapangan di luar pulau, ya dulu saya saat SMA pernah juga jadi relawan saat erupsi gunung Merapi 2010, oleh karena itu jiwa saya terpanggil.
Tanggal 21 Oktober 2018 saya mendarat di Palu dengan selamat. Sedih? Ya, takut? Sedikit, khawatir ada gempa susulan? Ya terkadang, ya yang jelas saat pertama kali saya keluar dari bandara banyak sekali orang, hiruk pikuk manusia di bawah kendali Tuhan, banyak relawan yang peduli terhadap penderitaan ibu pertiwi ini, baik dari relawan dalam negeri maupun luar negeri. Perjalanan saya dari bandara menuju ke posko Relawan disapa oleh beberapa bangunan yang roboh, hancur dan bahkan sudah banyak tenda tenda pengungsian, terlihat ketakutan ketidakberdayaan dari beberapa korban yang tampak di pinggir jalan.
1 hari awal di Palu berjalan dengan baik, saya memasuki hari pertama pelayanan medis di Palu. Ow ya sebelum mengajak ke hal yang sangat menyentuh saya selama di Palu ini ada hal unik yang ingin saya ceritakan, apa itu? Oke sabar ya, kita mulai, ada hal unik di seluruh jalanan aspal hitam yang kalau siang ada fatamorgana yang bergoyang karena sapaan dari mentari yang tepat di garis khatulistiwa, betul, di sini panas sekali panas, membuat badan ini mudah berkeringat dan berminyak, oke bukan ini yang unik, tapi raja jalanan di sini bukanlah pengendara motor, mobil, truk atau bis-bis antar provinsi, tetapi gerombolan kambing dan sapi yang seenak mereka menguasai jalanan, ini hal unik yang tidak saya temui waktu di Jawa.
Pelayanan medis, kita kembali ke alur ini, Yes saya sebagai dokter di sini pertama sangat bersyukur, karena diberikan kemampuan untuk membantu saudara-saudara serahim yang sama dari ibu pertiwi ini. Banyak pelajaran yang saya dapat selama melakukan pelayanan tim medis, pelajaran pertama yang saya dapat adalah tentang hidup dan mati ini tidak ada yang tau kecuali atas kehendak Tuhan yang Maha Esa, kalau saya pikirkan dan renungkan keberadaan saya di palu tidak lepas dari izin dan kuasa-Nya, kenapa? Ya sebenarnya tidak ada tempat yang aman di muka bumi ini, baik di Palu, Jakarta, Yogyakarta, Makassar, atau pun luar negeri, jika Tuhan berkehendak maka dimana saja bisa terjadi gempa, tsunami, banjir bandang, likuefaksi, bahkan bencana lainnya yang lebih dahsyat, ya kita kecil saudara, kita lemah, kita tidak ada apa apanya dengan kekuasaan Tuhan yang diwakilkan oleh keganasan alam ini.
Pelajaran kedua yang saya dapat salah rasa syukur, hal ini terutama saya dapat saat akan melakukan pelayanan medis di tempat yang lumayan jauh dari kota Palu, membutuhkan perjalanan kurang lebih 3 jam dan tidak lupa saya dan tim juga harus berhadapan dengan raja jalanan, gerombolan sapi dan kambing. Perjalanan kali ini kami ke desa Lobonga, kecamatan Balaesang kabupaten Donggala. Kami dan disambut oleh alam ini dengan goyangan, gempa.
Di sinilah saya mengatakan pada diri saya, saya bersyukur atas karunia yang telah Tuhan berikan kepada saya, saya diizinkan di dunia ini berperan sebagai dokter sehingga saya bisa membantu banyak orang, melihat banyak senyuman saudara saya di sisi Indonesia yang lain, di sisi dimana saya sangat jauh untuk kesini, senyuman ketabahan, senyuman kesabaran yang terpancar dari para korban gempa, tsunami inilah yang membuat hati saya terketuk untuk bisa memberikan pelayanan terbaik saya, pelayanan yang melibatkan hati serta doa agar semua bisa kembali seperti dulu kala, senyuman yang indah seperti senyuman pesisir pantai putih dan laut biru kristal di desa Lobonga. Sepulang dari sini saya terbayang dengan seorang anak kecil yang sakit batuk dan periksa ke saya, saya kagum dia tetap tegar, tetap tersenyum dengan Kondisi porak poranda di sekitarnya, oleh karena itu saya sangat bahagia bisa melihat dan membuat seorang anak tersenyum di sisi Indonesia yang lain, tempat yang begitu indah dan laut yang begitu damai, padahal dulu dia garang bak singa betina yang siap menerkam mangsanya.
Pelajaran terakhir yang saya dapat adalah tentang persaudaraan di ibu pertiwi ini, kami tidak mengenal agama, suku, asal daerah atau hal lainnya, kami berjuang bersama membantu banyak masyarakat atas dasar kami adalah saudara sedarah se tanah air, hal inilah yang seharusnya tercermin di Indonesia, bukanya sebaliknya. Singkat cerita tanggal 4 Desember 2018 saya kembali ke tanah jawa, untuk merajut mimpi lain saya agar saya bisa lebih banyak memberikan manfaat bagi bumi pertiwi ini.